Loading

CLURIT


Clurit identik dengan carok, karena keduanya saling melengkapi satu sama lain, tanpa ada clurit maka carok apalah artinya. Carok atau pertarungan sadis memang sudah biasa kita dengar dan sangat identik dengan budaya Madura.

Namun, jangan lantas berpikir dan membenamkan diri bahwa carok itu tidak memiliki nilai apa-apa. Carok merupakan salah satu bentuk penyangga dan integritas sebuah kehormatan. Bagi sebagian orang yang level pendidikannya tinggi mungkin berpikir "mengapa dengan jalan demikian??? apakah tidak ada cara lain???", akan saya jawab dengan kapasitas saya sebagai orang Madura.

Mereka tidak melakukan cara lain selain carok karena mereka belum mnegetahui cara lain untuk mempertahankan dan menegakkan kehormatan dirinya, sementara yang berpendidikan tinggi telah banyak membuka dirinya dengan buku dan juga pengalaman orang lain, jadi yang berpendidikan jadilah teladan yang baik dengan kemampuanya bagi orang lain. Berdasarkan struktur masyarakatnya, suku Madura adalah suku yang rata-rata memegang teguh prinsip nenek moyang, melanggar nenek moyang sama dengan penghianatan.

Namun, seiring dengan berkembangnya kebudayaan dan peradaban masyarakat. Masyarakat Madura pun mengalami sebuah transisi nilai budaya dengan tetap mengakarkan diri pada budaya Madura. Andai saya bisa merangkai dan mengingat kembali pepatah Madura yang sering dihaturkan oleh Ayahanda saya tercinta, maka dengan segenap rasa hormat saya kepada beliau dan kepada para tokoh-tokoh Madura lainnya akan saya tuliskan pepatah tersebut. Apa daya tingkat kepekaan mengingat hal yang seperti ini kurang bagus karena banyak terkontaminasi dengan hal-hal yang lain (But I’m still Madureese, I Love Madura respectly).

Perkembangan tersebut pun semakin menggeser flkutuasi clurit yang tadinya digunakan untuk saling bacok membacok satu sama lain karena sebuah integritas dan kehormatan yang harus dipertahankan. Clurit tetap merupakan sebuah peripheral inti dalam masyarakat Madura. Untuk apa peripheral inti itu digunakan, tergantung dengan tingkat emosional dan spiritual quotien masing-masing. Mungkin harga clurit yang mereka dapatkan di pasar AHADAN (pasar setiap Minggu, ini berlokasi beberap meter dari rumah saya), pasar Sattowan (pasar setiap Sabtu, di daerah tanah merah) atau pasar senen (di Kota Bangkalan) hanya beberapa ribu saja, tapi yang hanya beberapa ribu tersebut bisa menjadi simbol integritas dan kebanggaan mereka terhadap akar budayanya. Ketika harus kehormatan yang diobrak-abrik, ketika mulut sudah habis kosakatanya maka tangan dengan genggaman clurit pun mengintrepretasikan perebutan akan sebuah kehormatan.

Sebagai orang Madura, saya mengakui bahwa fenomena ini masih ada di komunitas Madura, namun tolong jangan anda sterotype-kan Madura dengan masyarakat tukang bacok, keras dan kampungan. Saya pikir semua komunitas masyarakat di dunia ini memiliki karakter seperti in. Bagi saya Madura adalah sebuah anugerah. Kadangkala intonasinya memang sekeras clurit, namun percayalah tidak demikian dengan hatinya (bender enggi tretan????). Tak bisa dipungkiri bahwa clurit dan carok masih ada sampai sekarang, namun percayalah seiring dengan kencangnya laju pendidikan maka clurit akan memiliki harga yang intangible karena clurit bisa berkata tentang sejarah sebuah pulau yang bernama Madura. Clurit berkesempatan untuk masuk ranah-ranah internasional yang menjadi sebuah aksesoris ekslusif dengan segmentasi tertentu tentunya.

Sekali Madura Tetap Madura, namun tidak melupakan pulau-pulau yang lain karena Madura tidak akan ada apa-apanya tanpa kehadiran pulau-pulau yang lain (we love you Indonesia).
StumbleDeliciousTechnoratiTwitterFacebookReddit

0 komentar:

Categories